Sekutu yang tergabung atas berbagai negara Eropa dan Amerika berbagi tugas setelah berhasil menduduki Jepang. Amerika Serikat bertugas mengamankan Jepang, sedangkan untuk daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia diserahkan kepada Inggris. Belanda dalam hal ini NICA berusaha ambil bagian dalam mengamankan Asia Tenggara khususnya Indonesia.
Belanda yang turut ikut dengan Inggris dalam misi mengamankan Asia Tenggara masih berniat untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia, seperti sebelum terlibat perang dunia II dan dipukul mundur dari Indonesia oleh pasukan Jepang pada tahun 1942. Ditambah lagi hasil perjanjian Postdam yang dibuat Amerika Serikat, Perancis dan Inggris yang menyebutkan bahwa negara – negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Sekutu diberi hak untuk memperoleh kembali daerah jajahannya. Dengan kata lain Belanda dapat dengan legal menjajah Indonesia kembali.
Hal ini sungguh sangat bertentangan dengan hasil perjanjian Chequers pada 14 Agusuts 1941 yang diusung oleh Presiden Amerika Serikat Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, yang melahirkan Atlantic Charter. Isi dari Atlantic Charter yaitu kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan mewujudkan perdamaian dunia. Sungguh ironis, justru pihak sekutu dan Belanda khususnya ingin kembali menjajah Indonesia serta membunuh ribuan rakyat Indonesia dalam agresi militernya.
Pada tanggal 30 Oktober pasukan Inggris berkebangsaan India (Gurkha) berhasil mendarat di Jakarta dibawah pimpinan Mountbatten, kemudian disusul di daerah Semarang pada 20 Oktober, di Surabaya pada 25 Oktober, di Medan pada 10 Oktober dan di Palembang pada 25 Oktober. Pada awalnya sekutu khususnya Inggris membatasi tindakan – tindakan pasukannya untuk tidak terlalu jauh melakukan peperangan seperti yang diharapkan NICA. Pihak Inggris hanya melakukan pelucutan senjata – senjata pasukan Jepang dan membebaskan tawanan – tawanan perang Jepang. Namun di beberapa kota seperti di Jakarta serdadu NICA selalu melakukan provokasi dan tindakan kekerasan terhadap rakyat Indonesia.
Bahkan Jenderal Sir Philip Christison yang berada di Singapura mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk tidak mencopot pemimpin republik Indonesia seperti Soekarno dan Hatta. Sebaliknya Christiton meminta kepada pemimpin republik dan pemimpin partai untuk menyambut pasukan Inggris dengan baik serta bekerja sama dalam melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan perang.
Namun tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan NICA kepada rakyat Indonesia semakin menambah konflik antara rakyat Indonesia menjadi meluas. Di Pekalongan rakyat Indonesia dibantai oleh polisi militer Jepang yang masih berkuasa. Rentetan perisitiwa memilukan ini semakin menambah kemarahan rakyat terhadap kaum penjajah.
Pertempuran Surabaya 10 november 1945
Tanggal 10 November adalah tanggal bersejarah untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Sebab peristiwa 10 November adalah peristiwa agung dimana diabadikan sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Hal ini memanglah pantas mengingat kegigihan perjuangan rakyat Surabaya melawan Sekutu yang mencoba menapakkan kakinya kembali, ingin merebut bangsa ini. Padahal bangsa Indonesia saat itu sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Disaat itulah perjuangan rakyat Surabaya dengan segenap jiwa, raga, harta, darah, dan nyawa, ditumpahkan demi tegaknya NKRI.Perjuangan warga Surabaya boleh dikatakan adalah perjuangan total. Banyak sekali rentetan peristiwa yang saling sambung-menyambung membentuk mata rantai yang tiada putus dalam perjuangan mereka. Awal mulanya adalah peristiwa Insiden Bendera di Hotel Yamato pada Rabu wage, 19 September 1945. Saat itu adalah masa kehadiran sekutu dan Belanda yang tergabung dalam Mastiff Carbolic, adalah salah satu organisasi Anglo Dutch Country Saction (ADCS) yang bergerak di bidang spionase. Dengan memakai kedok Petugas/Organisasi Palang Merah Internasional (PMI) Belanda dan sekutu beroperasi di Surabaya dan mengunjungi Markas Besar Tentara Jepang yang berkedudukan di Surabaya. Pada saat yang sama bendera Belanda dikibarkan di sebelah kanan (Utara) Gapura Hotel Yamato oleh beberapa anggota dari Komite Kontak Sosial.
Hal ini tentu mengundang kemarahan dari para pejuang dan masyarakat Surabaya. Sebab secara tidak langsung mereka akan merebut kembali bangsa Indonesia dan ingin mendirikan pemerintahan kolonial Belanda. Resimen Sudirman akhirnya turun tangan. Beliau mendatangi sekutu dan meminta untuk menurunkan bendera itu. Hal ini tidak diindahkan malah Sudirman ditodong dengan pistol revolver oleh salah seorang Belanda. Tentu hal ini semakin memanaskan suasana terutama untuk rakyat Surabaya. Sehingga muncullah perkelahian massal yang tidak seimbang antara 20 orang sekutu/Belanda berhadapan dengan massa – rakyat/pemuda Surabaya yang berasal dari Genteng, Embong Malang, Praban dan sekitarnya. Buntut dari perkelahian ini adalah disobeknya bendera berwarna biru oleh pemuda Surabaya. Meskipun rakyat Surabaya kehilangan 4 pahlawan yaitu Sidik, Mulyadi, Hariono, dan Mulyono yang gugur sebagai kusuma bangsa.
Pasca Insiden 19 September 1945 itu, semangat rakyat Surabaya untuk mempertahankan NKRI semakin menjadi-jadi. Hal ini dibuktikan dengan penyerbuan pada gedung Kenpetai pada tanggal 2 Oktober 1945. Gedung Kenpetai adalah tempat penyiksaan para pejuang rakyat Surabaya. Ditempat itulah para pejuang dan rakyat Surabaya disiksa habis-habisan oleh tentara Jepang. Hal inilah yang menjadikan motif penyerbuan pada gedung Kenpetai. Dan tepat pada 2 Oktober 1945 rakyat Surabaya dengan gagah berani mengepung Gedung Kenpetai dan terjadilah pertempuran yang berakhir pada pukul 16.00 setelah para pejuang melihat Bendera Jepang Hinomaru diturunkan sendiri oleh Takahara, komandan Kenpetai. Dari pertempuran ini rakyat Surabaya berhasil melucuti sejumlah kurang lebih 22.887 senjata. Belum termasuk perangkat persenjataan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Adapun prestasi lain adalah direbutnya gedung Kenpetai oleh rakyat Surabaya yang adalah bukti kemenangan besar.
Sampai disini perlawanan rakyat Surabaya masih belum berakhir. Bangsa Belanda ternyata masih menapakkan kakinya di bumi Surabaya. Tentu hal ini semakin memanaskan api kebencian rakyat. Sehingga perlawanan pun terus dilakukan walaupun nyawa taruhannya. Dan pada 30 Oktober 1945 sebuah peristiwa besar terjadi yaitu terbunuhnya Brig. Jend. Mallaby di dekat Jembatan Merah. Peristiwa ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada kronologis kejadian yang saling berantai.
Diawali dengan diadakannya pertemuan antara Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, Menpen Amir Syarifuddin, Gubernur Soerjo, residen Soedirman dengan Mayjen D.C. Hawthorn, pimpinan tentara Sekutu di Jakarta pada 30 Oktober 1945. Salah satu hasil pertemuan itu adalah dibentuknya Kontak Komisi, yang diharapkan dapat mempermudah hubungan kedua belah pihak juga disetujui agar tembak-menembak antar kedua belah pihak dihentikan. Namun faktanya tembak-menembak terus berlangsung. Sehingga diputuskan agar para anggota Kontak Komisi turun ke lapangan diantaranya dengan mengunjungi daerah Jembatan Merah. Disitu terletak gedung Internatio, yang adalah markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya.
Sampai di Jembatan merah ternyata gencatan senjata terjadi. Hal ini sebab arek-arek Surabaya sudah menanti anggota Kontak Komisi yang diantaranya adalah Brig. Jend. Mallaby. Tepat sekitar pukul 20.30 mobil yang ditumpangi Brig. Jend. Mallaby meletus dan Mallaby pun tewas. Peristiwa ini tentu saja semakin membuat rakyat Surabaya optimis bahwa mereka akan menang. Namun untuk Sekutu hal ini adalah pukulan luar biasa. Sebab harga diri mereka semakin terinjak-injak. Sehingga melihat hal ini, Mayjen E.C. Mansergh, panglima tentara Sekutu di Jawa Timur pengganti Brig. Jend. Mallaby mengeluarkan sebuah ultimatum pada 9 November 1945 agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945.
Namun Ultimatum itu ditolak oleh bangsa Indonesia. Sehingga pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 tentara Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara dengan menggunakan kapal perang, pesawat udara, serta pasukan yang bergerak dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Para pejuang Indonesia mengambil siasat mengundurkan diri dari dalam kota Surabaya dan memilih meneruskan perjuangan dari luar kota.
Intulah sederetan kronologis historis yang mengilhami lahirnya Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. Dari peristiwa ini sesungguhnya banyak makna yang mampu kita petik dan kita tanamakan dalam kehidupan saat ini. Kegigihan perjuangan dan pengorbanan yang tulus adalah sebuah contoh yang mampu kita jadikan referensi untuk kehidupan berbangsa. Ditengah carut-marutnya tatanan negri dan semakin hilangnya semangat perjuangan, kita buka kembali pintu kesadaran tinggi untuk berjuang menata negri dari ke-chaos-an menuju tatanan kosmik yang teratur, tertata, dan terarah. Perjuangan yang tulus ikhlas, tanpa banyak tuntutan dan kepentingan, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Belajarlah dari para pahlawan kusuma bangsa yang senantiasa tulus dengan segenap jiwa raga membela tanah air. Mereka tidak memandang kepetingan golongan, tidak mengaharapkan imbalan, serta tidak banyak menunutut. Perjuangan mereka semata-mata demi kehormatan bangsa dan demi tetap tegaknya NKRI. Semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar untuk para penerus bangsa.
No comments:
Post a Comment