Friday 5 September 2014

Kali ini kita akan membahas tentang Perjuangan Bersenjata Dalam Usaha Untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, aamiin.

Perjuangan Bersenjata Dalam Usaha Untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Karena Belanda berusaha untuk berkuasa kembali di bumi pertiwi. Bangsa Indonesia pun tidak tinggal diam, seluruh rakyat Indonesia bersatu padu mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaannya. Perlawanan terhadap kekuasaan asing meluas di berbagai daerah. Pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan ke Indonesia bagian timur. Dari Tegal, Indonesia mengirim kapal perang Semeru di bawah pimpinan Mulyadi dan kapal perang Sindoro di bawah pimpinan Ibrahim Saleh dan Yos Sudarso. Kapal-kapal perang Indonesia tersebut bertolak menuju Maluku pada tanggal 3 Maret 1946. Kapal yang dipimpin Mulyadi berhasil kembali ke Jawa, akan tetapi Yos Sudarso beserta awaknya tenggelam bersama kapalnya di perairan Maluku sebagai pahlawan bangsa.

Di Bali, pemerintah Indonesia mengirim bala bantuan pasukan dari Banyuwangi untuk membantu Resimen Ciung Wanara yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai. Pasukan kita dengan keberanian yang luar biasa bertempur melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Peristiwa yang  terjadi di Margarana ini selanjutnya dikenal dengan Puputan Margarana.
perjuangan bersenjata dalam usaha mempertahankan kemerdekaa
Pertempuran Surabaya

Pada bulan Desember 1946, rakyat Sulawesi bergerak mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Hal ini menyebabkan Kapten Westerling secara kejam menindas rakyat sehingga menimbulkan korban jiwa sekitar 40.000 rakysat Sulawesi. Selain pertempuran dan perlawanan tersebut, hampir di seluruh daerah nusantara terjadi peristiwa heroik seperti pertempuran Surabaya 10 November 1945, Pertempuran Yogyakarta, Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa, dan Peristiwa Medan Area.

Perlawanan heroik yang terjadi di berbagai daerah tidak juga memadamkan ketamakan dan keinginan Belanda untuk menguasai Indonesia. Belanda pun mengadakan aksi polisionil dalam usaha mereka untuk membersihkan daerahnya dari kaum ekstremis. RI beranggapan bahwa tindakan Belanda itu jelas-jelas merupakan aksi militer karena dilakukan oleh militer. Dapat pula dikatakan sebagai agresi, yang berarti serangan atas daerah RI yang telah disepakati dan diakui oleh Inggris maupun Belanda berdasarkan Perjanjian Linggajati. Dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Belanda melaksanakan dua kali agresi, hal ini menandakan ambisi Belanda untuk kembali menguasai wilayah Indonesia.Perjuangan bersenjata dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan terpaksa dilakukan oleh rakyat Indonesia dikarenakan ambisi Belanda tersebut.


Beberapa peristiwa pertempuran antara pasukan Sekutu dan Belanda melawan rakyat Indonesia terjadi di berbagai daerah, antara lain pertempuran di Surabaya, Bandung lautan api, pertempuran Medan area, peristiwa merah putih di Manado, pertempuran di Jakarta dan sekitarnya, pertempuran di Ambarawa, agresi militer Belanda pertama, agresi militer Belanda kedua, serangan umum 1 Maret 1949. Perjuangan bersenjata di berbagai daerah di Nusantara akan kita simak dalam penjelasan berikut ini :

A. Insiden bendera di Surabaya

Pada tanggal 19 September 1945, di Surabaya Kontak senjata yang terjadi di Surabaya antara terjadi insiden bendera. Insiden ini berpangkal pada pasukan Indonesia dan pasukan Sekutu berkaitan tindakan beberapa orang Belanda yang mengibarkan bendera merah putih biru di atas Hotel Yamato di jalan Tunjungan.

Tindakan tersebut menimbulkan kemarahan rakyat. Mereka menyerbu hotel dan menurunkan bendera Belanda tersebut. Bagian yang berwarna biru dirobek. Mereka mengibarkannya kembali sebagai bendera merah putih.

B. Pertempuran lima hari di Semarang

Pertempuran di Semarang dipicu peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Oktober 1945. Pada waktu itu, kira-kira 400 orang veteran AL Jepang yang akan dipekerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring menjadi pabrik senjata memberontak sewaktu mereka dipindahkan ke Semarang. Mereka menyerang polisi Indonesia yang mengawal mereka.

Mereka melarikan diri dan bergabung dengan Kidobutai di Jatingaleh. Kidobutai adalah sebuah batalyon Jepang di bawah pimpinan Mayor Kido. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan alasan mencari dan menyelamatkan orang-orang Jepang yang tertawan.

Situasi bertambah panas dengan adanya desasdesus bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni. Pihak Jepang memperuncing keadaan karena melucuti delapan orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut. Alasannya untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu. Pertempuran mulai pecah pada dini hari tanggal 15 Oktober 1945. Para pemuda dan pejuang Indonesia bertempur melawan pasukan Kidobutai yang dibantu oleh batalyon Jepang lain yang kebetulan sedang singgah di Semarang. Pertempuran yang paling banyak menelan korban terjadi di Simpang Lima, berlangsung selama lima hari Pertempuran baru berhenti setelah Gubernur Wongsonegoro dan pemimpin TKR berunding dengan komandan tentara Jepang. Proses gencatan senjata dipercepat setelah Brigadir Jenderal Bethel dari pasukan Sekutu ikut terlibat dalam perundingan pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu kemudian melucuti senjata Jepang dan menawan pasukan Jepang. Untuk mengenang pertempuran di Semarang, maka di Simpang Lima didirikan Monumen Perjuangan Tugu Muda.

C. Pertempuran di Surabaya

Kontak senjata yang terjadi di Surabaya antara pasukan Indonesia dan pasukan Sekutu berkaitan dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Perebutan tersebut membangkitkan pergolakan, yang kemudian berubah menjadi revolusi yang konfrontatif.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 yang dipimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka bertugas untuk melucuti serdadu Jepang dan membebaskan para interniran. Kedatangan Mallaby disambut oleh R.M.T.A. Suryo (Gubernur Jawa Timur). Dalam pertemuan itu dihasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut. Inggris berjanji bahwa di antara tentara Inggris tidak terdapat angkatan perang Belanda. Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Akan segera dibentuk Contact Bureau (Biro Kontak) agar kerja sama dapat terlaksana sebaikbaiknya. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang. Atas kesepakatan tersebut, maka Inggris diizinkan masuk kota Surabaya. Ternyata dalam praktiknya, Inggris tidak menepati janjinya. Pasukan Inggris justru berusaha menguasai Surabaya.

Secara kronologis serangan Inggris terhadap Indonesia, antara lain sebagai berikut. Tanggal 26 Oktober 1945, satu peleton Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw menyerang sebuah penjara di Kalisosok dan juga pusat-pusat penting lainnya, seperti pangkalan udara, kantor pos, dan gedung pemerintahan. Tanggal 27 Oktober 1945, pasukan Inggris menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah, agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata hasil rampasan dari Jepang.

Dengan kejadian ini maka pihak Indonesia menginstruksikan kepada semua pemuda untuk siap siaga penuh menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Akhirnya terjadi juga kontak senjata antara pemuda Indonesia dan Inggris. Semua pemuda di seluruh kota menyerang Inggris dengan segala kemampuan. Tanggal 28 Oktober 1945, pemuda Indonesia menyerang pos-pos Sekutu di seluruh Surabaya.

ada tanggal 29 Oktober 1945, komando Sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk menyelamatkan pasukan Inggris agar tidak mengalami kehancuran total. Presiden Soekarno dan Jenderal Mallaby mengadakan perundingan. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan, yaitu penghentian kontak senjata dan keberadaan RI diakui oleh Inggris.

Cara menghindari kontak senjata diatur sebagai berikut. Surat-surat selebaran yang disebarkan tidak berlaku lagi. Kota Surabaya tidak dijaga oleh tentara Sekutu kecuali kamp-kamp tawanan. TKR dan Polisi diakui oleh Sekutu. Tanjung Perak untuk sementara waktu diawasi bersama TKR, Polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan penerimaan bantuan berupa obat-obatan untuk tawanan perang.

Tanggal 30 Oktober 1945, seluruh Biro Kontak menuju ke beberapa tempat. Gencatan senjata tidak dihormati Sekutu. Dalam salah satu insiden yang belum pernah terungkap secara jelas, Brigjen Mallaby ditemukan meninggal. Tanggal 9 November 1945, pimpinan tentara Sekutu di Surabaya mengeluarkan ultimatum kepada rakyat. Ultimatum dari pasukan Sekutu tersebut pada pokoknya berisi: tuntutan pertanggungjawaban pihak Indonesia atas terbunuhnya Mallaby; instruksi yang menuntut agar semua pemimpin dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor. Mereka harus meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah ditentukan; mereka harus menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas waktu ultimatum tersebut ialah jam 06.00 tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh para pemimpin dan rakyat Surabaya. Batas ultimatum akhirnya habis. Maka pecah pertempuran hebat antara pasukan Indonesia dan Inggris. Pertempuran sengit terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pasukan Inggris yang dilengkapi dengan peralatan perang canggih menggempur para pejuang Indonesia. Dalam pertempuran tidak seimbang yang berlangsung sampai awal bulan Desember 1945 itu telah gugur beribu-ribu pejuang.

Salah satu tokoh dan pemimpin perjuangan rakyat Surabaya adalah Bung Tomo. Dalam pertempuran yang tidak seimbang, Bung Tomo terus mengobarkan semangat rakyat supaya terus maju, pantang mundur.

Peristiwa di Surabaya merupakan gambaran keberanian dan kebulatan tekad bangsa Indonesia untuk membela tanah air dan kemerdekaan. Sekarang peristiwa 10 November diabadikan sebagai Hari Pahlawan dan Tugu Pahlawan di tengah Kota Surabaya melambangkan keberanian dan semangat juang bangsa Indonesia.

D. Pertempuran di Ambarawa

Pertempuran di Ambarawa diawali kedatangan tentara Sekutu di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Mereka datang untuk mengurus tawanan perang. Pihak Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Ternyata Sekutu diboncengi oleh NICA. Insiden bersenjata mulai timbul di Magelang. Kejadian itu meluas menjadi pertempuran setelah pasukan Sekutu membebaskan para interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa. Gencatan senjata terjadi setelah Presiden Soekarno turun tangan. Akan tetapi, secara diam-diam Sekutu meninggalkan Magelang menuju Ambarawa pada tanggal 21 November 1945. Mayor Sumarto memimpin perlawanan TKR dan para pemuda menentang tentara Sekutu.

Gerakan tentara Sekutu berhasil ditahan di desa Jambu berkat bantuan dari resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalyon Polisi Istimewa di bawah pimpinan Onie Sastroatmodjo, dan batalyon dari Yogyakarta. Dalam pertempuran di desa Jambu pada tanggal 26 November 1945 itu, Letkol Isdiman (Komandan Resimen Banyumas) gugur. Kolonel Soedirman (Panglima Divisi di Purwokerto) segera mengambil alih pimpinan.

Setelah mengadakan konsolidasi dengan para Komandan Sektor, Kolonel Soedirman memimpin pertempuran melawan Sekutu pada tanggal 12 Desember 1945. Dalam waktu satu setengah jam, TKR sudah mengepung kota Ambarawa. Empat hari kemudian tentara Sekutu mundur ke Semarang.

E. Pertempuran Medan Area

Berita proklamasi Republik Indonesia baru sampai di kota Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Keterlambatan berita tersebut karena sulitnya komunikasi dan sensor ketat terhadap berita-berita oleh tentara Jepang. Berita proklamasi kemerdekaan dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan, yang diangkat menjadi gubernur Sumatera. Pada tanggal 13 September 1945, para pemuda yang dipelopori oleh Achmad Tahir membentuk Barisan Pemuda Indonesia. Pada tanggal 4 Oktober 1945, Barisan Pemuda Indonesia beraksi mengambil alih gedung-gedung pemerintah dan merebut senjata-senjata milik tentara Jepang.

Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dan NICA di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di kota Medan. Sebelumnya, Belanda sudah mendaratkan suatu kelompok komando yang dipimpin oleh Westerling. Reaksi awal para pemuda atas kedatangan Sekutu tersebut adalah membentuk TKR di Medan.

Tanggal 13 Oktober 1945 terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan pasukan Sekutu. Ini merupakan awal perjuangan bersenjata yang dikenal sebagai pertempuran Medan Area.

Konfrontasi antara pejuang kemerdekaan dan serdadu NICA segera menjalar ke seluruh Kota Medan. Karena insiden antara pasukan pejuang kemerdekaan dan tentara NICA terus terjadi, maka pada tanggal 18 Oktober 1945 pihak Sekutu mengeluarkan maklumat yang berisi larangan terhadap rakyat untuk membawa senjata dan semua senjata yang dimiliki harus diserahkan kepada Sekutu.

Pada tanggal 1 Desember 1945, AFNEI memasang sejumlah papan bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Papan nama itulah yang membuat pertempuran di Medan dan sekitarnya dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Kemudian, Sekutu dan NICA mengadakan aksi pembersihan unsur-unsur RI di seluruh kota. Para pejuang Indonesia membalas aksi-aksi tersebut. Pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Sekutu melancarkan serangan militer besar-besaran, yang dilengkapi dengan pesawat tempur canggih. Seluruh daerah Medan dijadikan sasaran serangan.

F. Pertempuran di Jakarta

Sama seperti yang terjadi di Bandung, orang-orang NICA dan KNIL terus melakukan provokasiprovokasi bersenjata sehingga memancing kemarahan masyarakat. Orang-orang KNIL sendiri dimanfaatkan oleh NICA demi kepentingan Belanda dengan cara mempersenjatai mereka. Keadaan di Jakarta pun menjadi kacau dan sulit dikendalikan. Tentara Belanda kian merajalela. Sementara itu, pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 membuat keadaan menjadi tambah gawat. Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk di Jakarta, Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta, dan kemudian ibukota Republik Indonesia pun turut pindah ke Yogyakarta.

G. Peristiwa Merah Putih di Manado

Seperti di tempat-tempat lain, pasukan Sekutu yang mendarat di Sulawesi Utara juga memboncengi orang-orang NICA. Orang-orang NICA kemudian mempersenjatai bekas tentara KNIL yang ditawan Jepang. Sejak akhir tahun 1945, pasukan Sekutu menyerahkan Sulawesi Utara kepada pasukan NICA. Pasukan NICA bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.

Rakyat Sulawesi Utara bereaksi dengan membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI). PPI berencana menyerang pasukan NICA. Akan tetapi, rencana tersebut bocor sehingga para pemimpin PPI ditangkap dan dipenjarakan. Pada tanggal 14 Februari 1946, para pejuang PPI menyerbu markas NICA di Teling. Mereka berhasil membebaskan pimpinan PPI dan menawan komandan NICA beserta pasukannya. Selanjutnya, para pejuang merobek bendera merah putih biru Belanda dan menjadikannya bendera merah putih. Bendera itu kemudian dikibarkan di markas Belanda di Teling. Oleh karena itu peristiwa itu dikenal dengan nama peristiwa merah putih di Manado.

Para pejuang dapat mengusir NICA dari Sulawesi Utara. Pada tanggal 16 Februari 1946, pemerintah sipil terbentuk. Pemerintahan sipil itu dipimpin oleh B. W. Lapian sebagai residen.

H. Bandung lautan api

Pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki kota Bandung. Pada waktu itu, para pemuda dan para pejuang kota Bandung sedang melaksanakan pemindahan kekuasaan dan melucuti senjata atau peralatan perang lainnya dari tangan Jepang. Tentara Sekutu menuntut para pemuda dan pejuang agar menyerahkan semua hasil pelucutan tentara Jepang kepada Sekutu.

Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan demi keamanan. Para pejuang Republik Indonesia tidak mengindahkan ultimatum tersebut. Akibatnya sering terjadi insiden antara pejuang Indonesia dan tentara Sekutu.

Pada tanggal 23 Maret 1946, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum untuk yang kedua kalinya. Kali ini para pejuang diminta meninggalkan seluruh kota Bandung. Pihak pemerintah mengindahkan ultimatum ini. Para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung melancarkan serangan umum ke arah markas besar Sekutu dan berhasil membumihanguskan kota Bandung bagian selatan.

I. Pertempuran Margarana


Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendaratkan kira-kira 2000 tentara di Bali. Pada waktu itu, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang berada di Yogyakarta untuk berkonsultasi dengan markas tertinggi TRI mengenai pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara menghadapi Belanda.

Akibat perundingan Linggarjati, daerah kekuasaan de facto Republik Indonesia yang diakui hanya terdiri dari Jawa, Madura, dan Sumatera. Hal itu berarti Bali tidak diakui sebagai bagian dari Republik Indonesia. I Gusti Ngurah Rai juga mendapati pasukannya terpencar-pencar. Sementara itu, Belanda sedang mengusahakan berdirinya satu negara boneka di wilayah Indonesia bagian timur. I Gusti Ngurah Rai dibujuk Belanda untuk bekerja sama. Ajakan tersebut ditolak I Gusti Ngurah Rai.

Pada tanggal 18 November 1946, I Gusti Ngurah Rai menyerang Belanda. Pasukan Ngurah Rai berhasil mengusai Tabanan. Namun, karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang akhirnya pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan (habis-habisan) di Margarana, sebelah utara Tabanan. I Gusti Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya.

Gugurnya I Gusti Ngurah Rai melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk “Negara Indonesia Timur”. J. Pertempuran lima hari di Palembang Pasukan Sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Carmichael. Bersama pasukan Sekutu ikut pula aparat NICA.

Pemerintah Indonesia di Palembang menentukan bahwa pasukan Sekutu hanya diizinkan mendiami daerah Talang Semut. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan peraturan itu. Insiden dengan pemuda meletus ketika mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata. Sekutu terus menambah kekuatannya di Palembang. Pada bulan Maret 1946, pasukan Sekutu sudah berjumlah dua batalyon. Sekutu juga melindungi masuknya pasukan Belanda. Jumlah pasukan Belanda semakin bertambah.

Ketika meninggalkan kota Palembang, Sekutu menyerahkan kedudukannya kepada Belanda. Pertempuran Belanda dan para pemuda meletus ketika Belanda meminta para pemuda dan peju-ang mengosongkan kota Palembang. Belanda mengajak berunding dan melakukan gencatan senjata. Sementara perundingan berlangsung, pada tanggal 1 Januari 1947 pertempuran meletus kembali. Pertempuran berlangsung selama lima hari lima malam. Seperlima bagian kota Palembang hancur. Pada tanggal 6 Januari 1947 dicapai persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia di Palembang. 




1 comment: