a. Aspek kehidupan pendidikan
Dalam bidang pendidikan, Jepang sengaja menghilangkan diskriminasi. Pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam, yaitu Sekolah Dasar Enam Tahun. Ini dilakukan untuk penyeragaman dan memudahkan pengawasan isi dan penyelenggaraan sekolah-sekolah. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan maklumat yang berisi antara lain:
- Pembukaan kembali sekolah-sekolah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah.
- Bahasa Jepang digunakan sebagai bahasa wajib. Larangan pada penggunaan bahasa Belanda dan Inggris baik di dalam atau di luar sekolah.
- Para pelajar diharuskan menghormati adat istiadat Jepang seperti berikut ini.
- Bersemangat ala Jepang.
- Dapat menyajikan lagu kebangsaan Kimigayo.
- Mengadakan penghormatan kiblat ke arah timur untuk menyembah kaisar atau Tenno .
- Melakukan gerak badan dan latihan kemiliteran.
- Penutupan perguruan tinggi, meskipun pada tahun 1943 masih ada yang buka seperti Perguruan Tinggi Kedokteran Jakarta, Perguruan Tinggi Teknik Bandung, Akademi Pamong Praja Jakarta, Pendidikan Tinggi Hewan Bogor.
Sisi positif yang dirasakan antara lain, digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah yang lalu melahirkan kader-kader generasi intelektual yang berjiwa nasionalis. Jepang juga telah menyelenggarakan kursus-kursus yang memiliki tujuan menanamkan semangat pro Jepang antara lain Barisan Pemuda Asia Raya di Jakarta tahun 1942, San A Seinen Kunrensyoi yang diadakan oleh Gerakan Tiga A, bulan Juni 1942.
b. Aspek kehidupan budaya
Pada masa pendudukan Jepang, seluruh media komunikasi dikendalikan oleh pemerintah militer sehingga sebagian besar tulisan sastra diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Kendati mengundang unsur-unsur semangat patriotisme dan semangat kerja keras, tetapi semuanya diperuntukkan bagi pemujaan pada Dai Nippon.
Para pengurus dan anggota Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) |
Didirikan pusat kebudayaan yang bernama Keimin Bunka Shidosho di Jakarta pada tanggal 1 April 1943. Melalui pusat kebudayaan ini, pemerintah Jepang hendak menanamkan dan menyebarluaskan seni budaya Jepang. Pusat kebudayaan ini didirikan pada tanggal 1 April 1943.
Digunakannya nama-nama berbau Barat yang diindonesiakan, seperti Java menjadi Jawa, Batavia menjadi Betawi, Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Buitenzorg menjadi Bogor, Preanger menjadi Priangan.
c. Aspek kehidupan kemasyarakatan
Selain membutuhkan bantuan berupa prajurit, pemerintah Jepang juga memerlukan bantuan tenaga untuk membuat sarana pendukung perang, seperti kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api, jembatan, lapangan udara. Oleh sebab itu, Jepang melakukan pengerahan tenaga kerja yang disebut sebagai romusha. Pada awalnya program ini didukung rakyat akibat termakan aksi propaganda Jepang untuk membangun keluarga besar Asia dan bersifat sukarela. Akan tetapi, romusha berubah menjadi pengerahan tenaga kerja secara paksa.
Tenaga romusha kebanyakan diambil dari penduduk desa-desa yang tidak tamat sekolah atau paling tamat sekolah dasar. Mereka dikirim juga ke luar Jawa bahkan ada yang dikirim ke luar negeri seperti di Burma/Myanmar,Malaysia, Thailand, Indochina. Kehidupan kesehatan para romusha tidak terjamin, makanan tidak mencukupi sementara pekerjaan sangat berat. Akibatnya banyak tenaga romusha yang mati di tempat pekerjaan sebab sakit, kecelakaan, kurang gizi. Jepang berupaya untuk menutupi rahasia kekejamannya dan menghilangkan rasa takut penduduk Indonesia. Sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye yang menjuluki para romusha sebagai “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”. Mereka digambarkan sebagai prajurit yang menunaikan tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka pada usaha Jepang itu memperoleh pujian sangat tinggi dan mulia.
d. Aspek kehidupan ekonomi
Pengerahan bahan makanan yang dilakukan Jepang melebihi kemampuan produksi para petani. Kebijakan itu berakibat pada tingkat kualitas hidup masyarakat, seperti kekurangan makanan, kurang gizi, gairah kerja merosot, angka kematian meningkat, kelaparan terjadi di mana-mana, berbagai penyakit timbul seperti pes, beri-beri, sakit kulit, kutu kepala, dan sebagainya. Masalah pokok seperti sandang juga mengalami kesulitan akibat larangan impor dari Belanda. Pemecahannya dalah dilakukan penanaman kapas di Jawa, Su-matera, Bali, Lombok, dan Sulawesi Selatan. Rakyat lalu dilatih memintal kapas. Sebagian besar rakyat di desa-desa, terpaksa memakai pakaian dari karung goni atau “bagor” atau lembaran karet/rami. Makanan sangat sulit didapat. Terpaksa rakyat makan umbi-umbian, bekicot, pohon pisang, pohon pepaya, dan sebagainya. Belum lagi Jepang melakukan berbagai perampasan kekayaan seperti emas, intan.
No comments:
Post a Comment