Alam reformasi memang telah memberikan begitu banyak pintu-pintu kebebasan yang sebelumnya tidak bisa dirasakan pada zaman orde baru. Dua masa yang mempunyai karakter yang saling bertolak belakang, namun tetap menyisakan sebuah sisi kekelaman para penguasanya. Mari kita cobalah telaah apa yang telah terjadi didua masa yang berbeda ini!.
Pada era rezim orde baru saluran informasi elektronik dan cetak jauh lebih sedikit dibandingkan saat ini. Stasiun televisi TVRI dan radio RRI jadi sumber informasi yang dominan menjadi corong pemerintah dalam membangun image keberhasilan ekonomi dan menjaga stabilitas keamanan negeri. Tak banyak berita-berita kriminal yang bisa kita dengar dan tonton, tidak ada sinetron-sinetron yang berpuluh episode yang menjemukan dan hanya menampilkan kemewahan dan gaya hidup yang materialistis seperti sinetron-sinetron saat ini, tidak ada infotainment yang menyerbu pendengaran kita sejak pagi buta hingga larut malam. Semua berjalan dibawah kontrol pemerintah yang otoriter, jika ada yang berseberangan akan bernasib naas. Walaupun lalu diakhir orde ini mulai menjamur stasiun televisi dan penerbitan media cetak, seiring dengan semakin melunaknya kepemimpinan Soeharto pasca terbentuknya ICMI yang memawadahi para cendekiawan muslim (Soeharto sepertinya mulai mendekat kekelompok hijau yang sebelumnya jadi musuh rezimnya, yang lalu dibaca oleh kalangan barat sebagai tanda untuk mulai menggulingkan kepemimpinannya).
Bandingkan dengan sekarang, dizaman reformasi ini pilihan saluran informasi dan hiburan sudah sedemikian bermacam-macam dan semakin menjurus kepada kebebasan yang kebablasan dan merugikan banyak fihak terutama rakyat awam. Sinetron-sinetron murahan, film-film cabul dan mistis, tumpang tindih informasi yang membingungkan, diperparah dengan lemahnya pengawasan lembaga-lembaga yang berwenang.
Kalau dahulu dizaman otoriter Soeharto ada yang namanya “petrus” alias penembak misterius yang menembaki preman-preman dan sampah masyarakat lainnya, lalu penangkapan aktifis yang kritis pada pemerintah, rentetan kasus kekerasan pada umat islam dengan stempel makar, seperti kasus Talang Sari Lampung dan Tanjung Priok Jakarta Utara.
Dizaman reformasi bisa kita lihat bahwa terorisme jadi isu yang paling laris dan dijadikan sebagai sarana propaganda dan pengalihan isu-isu yang sedang terjadi dan menyedot perhatian masyarakat banyak, dan yang menjadi korbannya adalah umat islam kembali. Yang paling menyedihkan adalah bahwa rezim saat ini dengan begitu pongahnya mempertontonkan “keberingasan” aparat yang berlindung dibalik UU anti terorisme melalui lakon sandiwara yang diperankan oleh Densus 88. Bukankah kita dapat melihat dengan jeli semua sandiwara berdarah ini dipenuhi intrik dan hal-hal yang ganjil?
Rezim otoriter memang membuka peluang untuk berbuat korup yang dilakukan pejabat pemerintah dan zaman Soeharto korupsi dan monopoli jadi mesin pendulang untuk memperkokoh jaringan politik partai penguasa, namun itu semua dilakukan “dibawah meja” dan dilakukan kebanyakan para penyokong pemerintah yang berkuasa.
Sedangkan dizaman reformasi korupsi terjadi secara besar-besaran dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah, hingga kedesa-desa terpencil sekalipun. Wakil rakyat yang duduk di DPR hingga DPRD sebagian besar terseret kasus korupsi, hakim, jaksa, polisi, guru, dan lain sebgainya pun tidak ketinggalan ikut meramaikan pemberitaan media sebab tersangkut masalah korupsi. Yang lebih parah lagi saat korupsi yang dilakukan dibalut oleh sebuah peraturan dan undang-undang.
Kriminalitas dizaman orde otoriter Soeharto bukannya tidak banyak terjadi, tetapi rezim ini lebih tanggap dalam menjaga stabilitas keamanan, dan media informasi tidak begitu gencar memberitakannya sehingga masyarakat tidak menjadi imun dengan berita-berita itu, sehingga tidak berimbas pada mendapatan contoh bagaimana melakukan sebuah aksi kriminil.
Tidak seperti sekarang yang nyaris setiap hari bahkan setiap jam kita dapati berita kriminal, apakah itu berita pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, dan lain-lain . Seperti tidak ada habis-habisnya, dan motif yang dilakukan semakin bermacam-macam dan dilakukan dengan cara yang semakin canggih bahkan tidak masuk diakal!.
Belum lagi dengan bencana-bencana yang terjadi saat ini jauh lebih dahsyat terjadi dinegeri ini bila dibandingkan dengan era rezim otoriter. Apakah ini bukti bahwa semakin rusaknya moralitas anak negeri, sehingga begitu sering mengundang bala bencana yang terus menerus terjadi.
Pada rezim reformasi di Indonesia saat ini, baik dan buruk, benar dan salah, menjatuhkan dan dijatuhkan, jadi hal yang membingungkan masyarakat, dan peranan media begitu besar dalam memenangkan pihak-pihak yang telah berbuat licik dan kesewenangan sebab mereka yang menguasai media.
Kita harus pandai-pandai dalam menerima dan mencermati setiap kejadian yang terjadi diera reformasi ini, sebab boleh jadi apa yang terlihat oleh mata kepala kita telah terbungkus oleh sebuah kepalsuan, dan ingatlah bahwa rezim yang culas pada rakyatnya cepat atau lambat akan menemui ajalnya dan digantikan oleh rezim selanjutnya.
”Semoga direzim selanjutnya akan kita temukan pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyatnya dan mampu membawa negeri ini jauh dari jurang kehancuran.“
sumber : http://padiemas.blogdetik.com
Pada era rezim orde baru saluran informasi elektronik dan cetak jauh lebih sedikit dibandingkan saat ini. Stasiun televisi TVRI dan radio RRI jadi sumber informasi yang dominan menjadi corong pemerintah dalam membangun image keberhasilan ekonomi dan menjaga stabilitas keamanan negeri. Tak banyak berita-berita kriminal yang bisa kita dengar dan tonton, tidak ada sinetron-sinetron yang berpuluh episode yang menjemukan dan hanya menampilkan kemewahan dan gaya hidup yang materialistis seperti sinetron-sinetron saat ini, tidak ada infotainment yang menyerbu pendengaran kita sejak pagi buta hingga larut malam. Semua berjalan dibawah kontrol pemerintah yang otoriter, jika ada yang berseberangan akan bernasib naas. Walaupun lalu diakhir orde ini mulai menjamur stasiun televisi dan penerbitan media cetak, seiring dengan semakin melunaknya kepemimpinan Soeharto pasca terbentuknya ICMI yang memawadahi para cendekiawan muslim (Soeharto sepertinya mulai mendekat kekelompok hijau yang sebelumnya jadi musuh rezimnya, yang lalu dibaca oleh kalangan barat sebagai tanda untuk mulai menggulingkan kepemimpinannya).
Bandingkan dengan sekarang, dizaman reformasi ini pilihan saluran informasi dan hiburan sudah sedemikian bermacam-macam dan semakin menjurus kepada kebebasan yang kebablasan dan merugikan banyak fihak terutama rakyat awam. Sinetron-sinetron murahan, film-film cabul dan mistis, tumpang tindih informasi yang membingungkan, diperparah dengan lemahnya pengawasan lembaga-lembaga yang berwenang.
Kalau dahulu dizaman otoriter Soeharto ada yang namanya “petrus” alias penembak misterius yang menembaki preman-preman dan sampah masyarakat lainnya, lalu penangkapan aktifis yang kritis pada pemerintah, rentetan kasus kekerasan pada umat islam dengan stempel makar, seperti kasus Talang Sari Lampung dan Tanjung Priok Jakarta Utara.
Dizaman reformasi bisa kita lihat bahwa terorisme jadi isu yang paling laris dan dijadikan sebagai sarana propaganda dan pengalihan isu-isu yang sedang terjadi dan menyedot perhatian masyarakat banyak, dan yang menjadi korbannya adalah umat islam kembali. Yang paling menyedihkan adalah bahwa rezim saat ini dengan begitu pongahnya mempertontonkan “keberingasan” aparat yang berlindung dibalik UU anti terorisme melalui lakon sandiwara yang diperankan oleh Densus 88. Bukankah kita dapat melihat dengan jeli semua sandiwara berdarah ini dipenuhi intrik dan hal-hal yang ganjil?
Rezim otoriter memang membuka peluang untuk berbuat korup yang dilakukan pejabat pemerintah dan zaman Soeharto korupsi dan monopoli jadi mesin pendulang untuk memperkokoh jaringan politik partai penguasa, namun itu semua dilakukan “dibawah meja” dan dilakukan kebanyakan para penyokong pemerintah yang berkuasa.
Sedangkan dizaman reformasi korupsi terjadi secara besar-besaran dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintah dari pusat sampai daerah, hingga kedesa-desa terpencil sekalipun. Wakil rakyat yang duduk di DPR hingga DPRD sebagian besar terseret kasus korupsi, hakim, jaksa, polisi, guru, dan lain sebgainya pun tidak ketinggalan ikut meramaikan pemberitaan media sebab tersangkut masalah korupsi. Yang lebih parah lagi saat korupsi yang dilakukan dibalut oleh sebuah peraturan dan undang-undang.
Kriminalitas dizaman orde otoriter Soeharto bukannya tidak banyak terjadi, tetapi rezim ini lebih tanggap dalam menjaga stabilitas keamanan, dan media informasi tidak begitu gencar memberitakannya sehingga masyarakat tidak menjadi imun dengan berita-berita itu, sehingga tidak berimbas pada mendapatan contoh bagaimana melakukan sebuah aksi kriminil.
Tidak seperti sekarang yang nyaris setiap hari bahkan setiap jam kita dapati berita kriminal, apakah itu berita pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, dan lain-lain . Seperti tidak ada habis-habisnya, dan motif yang dilakukan semakin bermacam-macam dan dilakukan dengan cara yang semakin canggih bahkan tidak masuk diakal!.
Belum lagi dengan bencana-bencana yang terjadi saat ini jauh lebih dahsyat terjadi dinegeri ini bila dibandingkan dengan era rezim otoriter. Apakah ini bukti bahwa semakin rusaknya moralitas anak negeri, sehingga begitu sering mengundang bala bencana yang terus menerus terjadi.
Pada rezim reformasi di Indonesia saat ini, baik dan buruk, benar dan salah, menjatuhkan dan dijatuhkan, jadi hal yang membingungkan masyarakat, dan peranan media begitu besar dalam memenangkan pihak-pihak yang telah berbuat licik dan kesewenangan sebab mereka yang menguasai media.
Kita harus pandai-pandai dalam menerima dan mencermati setiap kejadian yang terjadi diera reformasi ini, sebab boleh jadi apa yang terlihat oleh mata kepala kita telah terbungkus oleh sebuah kepalsuan, dan ingatlah bahwa rezim yang culas pada rakyatnya cepat atau lambat akan menemui ajalnya dan digantikan oleh rezim selanjutnya.
”Semoga direzim selanjutnya akan kita temukan pemimpin yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyatnya dan mampu membawa negeri ini jauh dari jurang kehancuran.“
sumber : http://padiemas.blogdetik.com
No comments:
Post a Comment