Thursday, 13 October 2016

Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Rasional dan Spiritual


Manusia adalah satu kata yang sangat berarti dalam, dimana manusia adalah makhluk yang sangat sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat spesial dan berbeda dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata dan memiliki akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari kebenaran, mencari Ilmu Pengetahuan, membedakan mana baik atau buruk, dan hal lainya. Karena begitu banyak kesempurnaan yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas mereka sebagai khalifah di Bumi ini. Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang mempunyai kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, wajib diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal itu mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan untuk manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia yang berkualitas.

Manusia sebagai subjek sudah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping itu adapula kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik. Hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh sebab itulah hakekat  manusia juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, sebab manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan. Tindakan baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional(pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adalah tercermin dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melaksanakan kebaikan atau kejahatan. Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.

Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, sebab itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai fasilitas untuk mencapai “spirituality progress”.

Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau juga disebut hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang gampang hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan maslow wajib memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu lalu meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan, perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada di bawahnya.

Lima (5) kebutuhan dasar Maslow – disusun berdasar kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
  1. Kebutuhan Fisiologis. Contohnya: Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
  2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti: Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
  3. Kebutuhan Sosial. Misalnya: mempunyai teman, mempunyai keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
  4. Kebutuhan Penghargaan. Contoh: pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
  5. Kebutuhan Aktualisasi Diri adalah kebutuhan dan harapan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai: kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifat horizontal (berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan transcendental lebih bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk spiritual.Agama menjadi pedoman dan ajaran yang dikuti oleh banyak manusia, sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang beragama pada dasarnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.

Menurut Karl Marx (1818-1883), seorang ahlifilsafat kelahiran Jerman. Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat sebab seperti candu, dia memberikan harapan-harapan semu, dapat menolong orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Ketika orang sedang masuk dalam penderitaan yang dibutuhkan tidak lain adalah candu yang dapat menolong melupakan segala penderitaan hidup, kendati hanya sesaat saja.Bagi Marx, agama adalah medium dari ilusi sosial.Dalam agama tidak adapendasaran yang real-obyektif untuk manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Hal ini bisa dijelaskan dari bagaimana agama berkembang. Agama berkembang sebab diwartakan oleh masyarakat yang memiliki kekuasaan atau masyarakat yang didukung oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan itu. Agama tidak berkembang sebab ada kesadaran darimanusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih sebab ada keasadaran dari manusia akanpembebasan sejati, tetapi lebih sebab kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yangmemiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukanoleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan dilihat oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat. (Eusta Supono, Agama Solusi atau Ilusi?, 2003).

No comments:

Post a Comment