Tuesday, 25 October 2016

Kali ini kita akan membahas tentang Masa Kejayaan Kerajaan Mataram. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, aamiin.

Masa Kejayaan Kerajaan Mataram

Setelah masa Panembahan Senopati (1584- 1601 M) dan Seda Ing Krapyak (1601-1603 M). Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menjadi raja ketiga dari kerajaan Mataram. Sesungguhnya pengganti Panembahan Krapyak yang dahulu dijanjikan adalah Raden Martapura (adik dari Den Mas Rangsang). Saat dia keluar untuk melaksanakan upacara pengangkatan, dia mendengar bisikan Ki Adipati Mandraka sehingga Raden Martapura yang pada saat itu baru berumur sekitar 7 hingga 8 tahun meletakkan jabatannya dan menyerahkannya kepada Den Mas Rangsang yang sudah berusia sekitar 20 tahun sebagai raja dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613-1646 M.

Berbagai penaklukan dan pertempuran pertama Sultan Agung setelah pengangkatannya terjadi antara 1613-1619 M, diawali dengan serangan militer atas sebuah aksi perampokan ke ujung timur jawa pada tahun 1614 M. Kemudian pertempuran di sungai Andaka (1614 M) yang adalah serangan Pangeran Surabaya bersama dengan rakyat Pasuruan dan Madura pada pasukan Mataram. Selanjutnya penaklukan Wirasaba pada tahun 1615 M sebab posisinya yang strategis di pinggir Sungai Brantas sebagai pintu masuk Delta Brantas ke Ujung Timur Jawa. Setelah jatuhnya Wirasaba, pertempuran terjadi di Siwalan (1616 M) yang direncanakan oleh bupati- bupati daerah Timur pada Mataram. Mataram melanjutkan lagi dengan penaklukan beberapa daerah meliputi; Lasem (akhir 1616 M), Pasuruan (1617), Tuban (1619). Rangkaian kemenangan Mataram ini sempat diputus oleh pemberontakan Pajang (1617). Adipati Pajang merasa diperlakukan tidak adil oleh raja Mataram. Permasalahan muncul saat bawahan Adipati Pajang, Ngabei Tambakbaya menolak perintah raja Mataram untuk menyerahkan kudanya yang bagus, yang bernama Domba. Akhirnya kedua penguasa Pajang itu wajib menghadapi kemarahan raja Mataram.

Pada awalnya Mataram mengharapkan hubungan baik dengan VOC, antara lain sebab Sultan Agung membutuhkan sekutu untuk melawan musuh-musuh Mataram, seperti Surabaya yang juga sudah menimbulkan kesulitan untuk Kompeni untuk pelayaran bebas di pulau- pulau rempah atau untuk melawan Banten tempat dimana Kompeni tidak memiliki kedudukan apapun. Begitu harapan agar Mataram tidak dilihat asing di mata dunia. Berbagai kesepakatan dibuat, seperti pembangunan loji di Jepara untuk Belanda dan pemberian 2 buah meriam Belanda untuk Mataram. Namun pada akhirnya kedua belah pihak merasa kecewa satu sama lain. Sultan Agung melaksanakan beberapa kali serangan pada lawannya yaitu Surabaya. Serangan itu dilakukan hingga lima kali berturut- turut, serangan pertama pada tahun 1620 dan serangan kedua pada tahun 1621. Pada tahun 1622 Mataram berhasil menduduki Sukadana yang adalah daerah kekuasaan Surabaya, stategi penyerangan dilakukan pada malam hari dengan senjata sumpit panah beracun. Serangan ketiga dilanjutkan pada tahun yang sama. Serangan keempat pada 1623. Penyerangan Mataram dialihkan ke Madura yang diduga sebagai tempat penyuplai makanan untuk Surabaya. Penaklukan atas Madura berhasil pada tahun 1624 M. Nasib raja- raja Madura berakhir tragis dalam pelarian, ada yang berhasil namun lebih banyak mereka tertangkap dan dibunuh. Mataram kembali pada Surabaya dengan serangannya yang kelima pada 1624. Stategi penyerangan dilakukan Sultan Agung dengan menutup saluran air yang menjadi masalah untuk Surabaya sampai abad ke-19, akhirnya mematahkan pertahanan Surabaya, hingga Surabaya menyerah pada tahun 1625 M. Sampai disini, Sultan Agung sudah berhasil menaklukan dua kerajaan besar yang menjadi musuhnya, yaitu kerajaan Surabaya dan Madura.

Sultan Agung mempunyai wajah yang kejam, kulit yang lebih hitam dibandingkan orang- orang jawa pada umumnya, berbadan bagus, mempunyai hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, agak lamban dalam berbicara, berwajah tenang dan bulat, dan terlihat cerdas. Dia memerintah dengan sangat keras, memandang sekelilingnya seperti singa. Dia memiliki sifat ingin tahu, bertindak sangat tegas, dan haus akan ilmu pengetahuan, pemarah, selalu waspada, tidak mempercayai siapapun termasuk keluarganya sendiri, seorang yang arif namun keras hati. Sultan Agung patuh pada agama Islam, dia memberlakukan tarikh Islam, secara teratur mengikuti sembahyang Jumat di Mekah. Dia secara teratur pergi ke Mesjid dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Pada grebek Puasa 9 Agustus 1622 Sultan Agung pergi ke Mesjid walaupun itu bukan tahun Dal. Setiap tahun raja menghadiri perayaan itu. Sebelum 1633, setiap tawanan perang wajib dikhitan juga dengan ancaman mati. Prajurit-prajurit Mataram dapat gampang dikenali sebab mereka berambut pendek dan memakai kuluk putih. Tidak lama sebelum Sultan Agung wafat dia menyuruh pangkas rambutnya. Hal inilah yang menandai bahwa dia kuat dalam menjalankan Islam. Dari semua kegemilangan yang diraih oleh Sultan Agung, terdapat juga masalah pada masa pemerintahannya seperti wabah pada 1625- 1627. Setelah Surabaya menyerah, militer Mataram mengalami kemunduran. Banyaknya kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, pajak yang berat di seluruh tanah Jawa. Di Banten, sepertiga penduduk meninggal. Di Cirebon, 2000 orang meninggal dunia dalam musim panas. Begitu pula di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai Surabaya, juga dipedalaman. Orang meninggal dunia tidak dapat dihitung, kebanyakan disebabkan oleh penyakit paru- paru yang menyebabkan sesak nafas sehingga dalam satu jam saja orang dapat meninggal. Penyakit ini terus mewabah hingga tiga tahun. Mataram mengalami kemunduran dan kemiskinan sebab banyak lahan pertanian menjadi gersang.

Pada tahun 1627 terjadi pemberontakan Pati. Sultan Agung memperoleh hasutan Tumenggung Endranata (seorang dari enam penasehat raja Mataram) yang lalu setelah Pati berhasil dikuasai seluruhnya oleh Mataram, Tumenggung Endranata wajib membayarnya dengan nyawanya. Setelah berakhirnya pemberontakan Pati, Sultan Agung memfokuskan dirinya untuk merebut kedudukan Kompeni Belanda. Hal ini sudah lama diinginkan Sultan Agung, mengingat Belanda selalu turut campur pada banyak peperangan Mataram melawan musuhnya saat itu, seperti saat melawan Surabaya. Sultan Agung melaksanakan pengepungan yang pertama ke Batavia pada tahun 1628 M. Kemudian pengepungan yang kedua terjadi pada tahun 1629 M. Namun sayang, kedua penyerangan ini gagal. Sultan Agung membunuh panglima yang kembali pada penyerangan pertama dalam keadaan hidup. Pilihannya adalah membawa pulang kemenangan atau mati. Namun pada penyerangan yang kedua Sultan Agung bersikap lebih lunak sebab ada tindakan perlawanan dari panglima yang menolak hukuman mati itu. Saat itu Sultan Agung adalah penguasa daerah pertama yang berani melaksanakan penyerangan pada VOC.

Setelah kegagalan pengepungan pada Batavia, Sultan Agung mengharapkan pertolongan Portugis yang pada saat itu sedang mengalami masa kegemilangan setelah berhasil mengusir armada Aceh di Malaka. Susuhunan mengirimkan surat dua kali pada tahun 1628 dan 1630 M kepada Portugis untuk menolong Mataram. Permintaan ini disambut baik oleh Portugis, apalagi saat itu Portugis menentang VOC. Baginya setiap sekutu wajib diterima dengan baik dan kesempatan yang menguntungkan ini pasti akan dimanfaatkan. Untuk pertolongan itu didatangkanlah perutusan portugis yang pertama pada tahun 1631 dan yang kedua pada tahun 1632-1633 M.

Setelah dua kali mengalami kegagalan, Sultan Agung tidak lagi sungguh- sungguh mempertahankan peruntungannya yang penting adalah mendapatkan penghormatan yang jelas dan tegas dari Kompeni. Untuk itulah dibuka perundingan pada tahun 1630 M lewat utusan yang dikirim, namun VOC tidak langsung menyetujui perdamaian sebab mencurigai pembawa pesan. Maka VOC mengutus Pieter Franssen ke Mataram, namun misi mencari tahu perdamaian ini gagal, begitu pula dengan perundingan 1632- 1634 M. Kemudian terjadilah Perang Laut (1633- 1634 M), dimana saat itu mataram mengejar armada VOC. Pada saat itu setiap kapal asing yang berlayar antara Banten dan Batavia akan diserang oleh kapal milik Mataram atau VOC. Namun lalu pada sekitar tahun 1635 Mataram mulai merubah politiknya dengan menarik sekitar 40 hingga 50-an kapak Jawa yang kecil-kecil. Sesungguhnya kegagalan Mataram hingga dua kali di depan VOC menimbulkan ketegangan dalam kerajaan, berupa pemberontakan Sumedang dan Ukur (1628- 1635 M) dan ketegangan di Pedalaman (1630 M) yaitu wilayah Mataram yang mengancam pusat kerajaan hingga Sultan Agung berziarah ke Tembayat (1633) menghadap makam yang keramat atas masa- masa sulit yang dihadapi kerajaannya. Hal ini adalah sebuah pengorbanan diri yang amat besar untuk Sultan Agung sebab makam tembayat itu lebih banyak memperoleh perhatian orang- orang kecil, pedagang, dan pengrajin. Pada tahun yang sama, Sultan Agung menjadikan awal tarikh Islam Hindu jawa yang baru yaitu pada hari Jumat 8 Juli 1633 M. Dua tahun setelah kunjungannya ke Tembayat dan penggunaan penanggalan yang baru, Mataram mengangkat senjata pada raja ulama Giri. Giri takluk pada 1636 M. Sementara disela itu Mataram berdamai dengan Surabaya (1628-1633 M) tanpa perlawanan sebab sikap Pangeran Pekik yang memilih berdamai hingga Sultan Agung menikahkannya dengan adiknya, Ratu Pandan Sari. Perundingan antara Mataram dan Belanda terus berlangsung 1636- 1642 M, hubungan tetap saja memburuk Sultan Agung memanfaatkan usaha perundingan ini untuk meminta bermacam-macam hadiah kepada Pemerintah Tinggi Belanda dengan memanfaatkan tawanan Belanda di Kerajaan Mataram. Perundingan ini terus berlanjut selama 6 tahun namun tanpa hasil hingga kematian Sultan Agung. Pada tahun sebelumnya (1635 M) Mataram melaksanakan serangan yang pertama ke Blambangan. Kemudian serangan selanjutnya terjadi selama 4 tahun dari tahun1636 M hingga Blambangan berhasil ditaklukan pada 1640 M.

Kerajaan Mataram mempunyai pengaruh yang besar bahkan menjangkau jauh hingga luar Jawa terutama setelah Surabaya jatuh pada tahun 1625 M. Hal ini terbukti dari kerajaan di luar Jawa seperti pada musim hujan tahun 1625- 1626 M dimana raja Palembang mengirimkan duta kepada sang penguasa besar dengan tujuh ekor gajah dan hadiah- hadiah lain dengan harapan Mataram akan menolong Palembang untuk melawan Banten. Begitu pula dengan Jambi yang berdekatan dengan Palembang. Atas prakarsa Palembang, Jambi mengupayakan penyerahan pos- pos diplomatik Belanda kepada Mataram. Sementara dengan Banjarmasin pada bulan Oktober 1641 tibalah seorang utusan raja Banjarmasin di Jepara dengan 500 orang pengiring yang membawa hadiah- hadiah terdiri atas merica, rotan, barang- barang anyaman, dan lilin. Hal ini dilakukan raja Jambi dengan maksud perdamaian setelah sebelumnya terdengar desas- desus penyerangan yang berakibat hubungan kedua kerajaan ini tegang. Pengaruh kerajaan Mataram bahkan meluas hingga Sulawesi. Pada bulan Juni 1680 utusan Makasar tiba di Mataram dengan membawa dua ekor kuda dan sebuah tempat tidur dari emas untuk Sultan Agung. Sementara dengan Cirebon, Panembahan Ratu yang dianggap sebagai guru raja Mataram, menghadiri Sidang Raya Kerajaan (1636 M) untuk memperbesar kewibawaan susuhunan.

Pada tahun- tahun terakhir sebelum wafatnya Sultan Agung baik di laut atau di darat keadaan medan perang tenang sekali walaupun baik Mataram atau Kompeni masing- masing tidak melepaskan tawanan kedua belah pihak. Usaha perdagangan terus berkembang dan dari segala sudut tanah Jawa segala macam barang diangkut ke Batavia berlimpah- limpah. Dalam surat- menyurat yang sering terjadi antara Sultan Agung dan Pemerintah Tinggi Belanda, Pemerintah Tinggi berulang kali menggunakan gelar ”Yang Mulia” yang sangat mengesankan. Bahkan sesudah wafatnya Sultan Agung, karisma ketegasan beliau masih berasa ketika Wiraguna yang memiliki kekuasaan di pemerintahan kekuasaan, menjatuhkan hukuman kepada beberapa tawanan Belanda yang minta dibebaskan. Tokoh yang kuat ini tidak gampang dilupakan bahkan setelah puluhan tahun wafatnya saat usia lanjut pada tahun 1648 M.

Sehubungan dengan kematian Sultan Agung yang menarik perhatian bahwa menurut cerita tutur dalam Serat Khanda (hal. 992-926), dewi kematian Lara Kidul meramalkan kematian Sultan Agung dua tahun sebelumnya, yaitu saat raja mengunjungi Nyi Lara Kidul di istananya di bawah laut. Jadi, awal 1644 raja sudah mengetahui atau merasa bahwa dia akan meninggal. Maka, Sultan Agung mempersiapkan diri untuk menghadapi kematiannya, antara lain dengan pembangunan makam di bukit pada tahun 1629- 1630 M di Imogiri. Pembangunan makam di atas bukit ini wajib dihubungkan dengan pengangkatannya sebagai Susuhunan pada tahun 1624 M. Dimana dahulu gelar ini hanya diberikan untuk para wali dan diberikan hanya setelah mereka wafat. Pemakaman di atas bukit ini adalah usaha melestarikan pengaruh dalam bidang spiritual.

Sultan Agung meninggal di pendapa keratonnya. Mungkin dia meninggal sebab wabah yang menyerang Mataram pada masa itu. Selama penyakitnya terakhir, raja mengadakan peraturan untuk mencegah perebutan tahta antara putra mahkota dan saudaranya pangeran Alit. Oleh sebab itu dia memanggil Tumenggung Wiraguna dan pembesar lainnya yang tidak disebut namannya, mungkin Pangeran Surabaya, agar pilihan penggantinya disetujui dan diperkuat oleh mereka. Untuk mencegah segala kemungkinan, dia menahan mereka di istana dan semua gerbang tol dijaga oleh para prajurit. Tidak lama lalu raja wafat, mungkin sekitar tengahan pertama bulan Februari 1646 M.





No comments:

Post a Comment